Bermodal dari sebuah kebebasan pers dewasa ini kegiatan jurnalisme menjadi sebuah kegiatan yang terang benderang. Tak lagi nampak tirani yang mengkerangkeng gerak para jurnalis mengungkap kebenaran. Tentu  saja terdapat norma disana, kode etik jurnalistik menjadi polisi bagi gerak seorang jurnalis dimana seperti yang kita tau merekalah tonggak awal terciptanya masyarakat komunikasi, masyarakat yang melek informasi.

Atas dasar tersebut, salah satu kegiatan jurnalistik pun mulai tumbuh ditengah-tengah para jurnalis. Jurnalisme investigasi salah satunya. Kegiatan mahal bagi para pemburu berita ini memang tak biasa. Sedikitnya perlu sebuah persiapan yang khusus demi sebuah kualitas informasi yang tentu saja berdampak signifikan bagi setiap penikmat informasi. Kegiatan ini dikatakan tak biasa dibanding kegiatan jurnalistik keyogyanya, jika berita cepat lebih mengutamakan timing pemberitaan, jurnalisme investigasi mempunyai nilai jual dalam segi kedalaman berita.

Dalam prakteknya, bisa kita simpulkan bagaimana tak mudahnya melakukan pencarian data yang komprehensif demi sebuah berita investigasi. Bahkan tak jarang, seringkali seorang jurnalis harus mempertaruhkan kredibilitas hingga nyawa saat melakukan penyelidikan seperti ini. Bagaimana tidak, ketepatan dan kedalaman berita tak bisa didapatkan dari proses yang mudah, seringkali hambatan terjadi dilapangan, dan diperlukan sebuah keuletan, tanggap dalam menangkap perubahan situasi dilapangan, cerdas, tenang, berfikir korelatif, dan berpikir konstruktif dalam menyusun peta permasalahan jiwa seorang jurnalis investigasi.

Pada dasarnya, ada beberapa hal yang menjadikan suatu berita itu dikatakan sebagai hasil dari sebuah peliputan investigasi. Romel, panggilan akrab Asep Raomli, dalam situs www.batiknews.com mengungkapkan jika dalam jurnalisme investigasi informasi digali melalui dua sumber utama, yakni narasumber (informan) dan literatur (data yang sudah ada –berita, buku, arsip, dll). Selain itu, isi naskah hasil investigasi tetap mengandung 5W1H, namun menitikberatkan pada unsur Why dan How. Dengan metodologis termudahnya adalah secara kronologis –urutan kejadian.

Selain hal tersebut, isu yang diangkat dalam jurnalistik investigasi biasanya dari headline (berita utama) media atau yang sedang hangat dibicarakan. Dimana fakta-fakta yang sudah diverifikasi (cek dan ricek akurasinya). Romel pun mengugkapkan jika jurnalisme investigasi pada dasarnya adalah mengungkapkan hal yang disembunyikan orang lain sehingga peliputan investigasi seharusnya tidak menyangkut dalam ranah pribadi demi kepentingan pribadi pejabat publik melainkan kepada ranah publik.

Dalam tahapannya, peliputan yang bersifat investigasi dalam dialurkan dari kegiatan mengidentifikasi masalah, mengumpulkan info (data), perencanaan, mencari dokumen dan bukti, verifikasi data, dan terakhir konfirmasi. Terakhir, Penulis yang telah menelurkan beberapa buku praktik kamunikasi ini mengatakan jika jurnalistik investigasi memungkinkan “cara penyamaran”, namun ini merupakan teknik paling akhir yang dilakukan  bila  oknum yang terlibat tidak mau angkat bicara.

Dalam kaidah jurnalistik, keabsahan pencarian data para proses pemberitaan fardu untuk diperhatikan. Elemen-elemen dalam sistem informasi yang ada sangat dijaga demi sebuah kualitas informasi yang valid dan berorientasikan edukatif. Seperti halnya yang termaktub dalam kode etik jurnalistik, pedoman bagi setiap jurnalis. Namun, berbeda halnya dengan liputan penyelidikan yang satu ini, Dandhy Dwi Laksono, Jurnalis senior, sekaligus penulis buku “Jurnalisme Investigasi” mengungkapkan berdasar pengetahuan dan pengalamannya, bahwasanya ketika dalam sebuah tugas jurnalistik yang bersifat investigasi seorang wartawan diperbolehkan untuk tidak menunjukan identitas kewartawanannya. Dalam artian, sebuah kerukhshahan dalam membatakan kode etik jurnalistik.

Sebut saja fasal 2 dalam susunan kode etik jurnalistik dimana seorang jurnalis wajib mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar dengan beberapa tolok ukur seperti keamanan Negara, menjaga perasaan golongan yang bersangkutan dengan Agama, Ras, Budaya, dll. Dalam praktik jurnalistik investigasi, seorang jurnalis diperbolehkan mencatutkan narasumber dengan anonim, sekalipun dengan beberapa pertimbangan seperti kredibilitas narasumber dalam memberikan informasi hingga faktor keamanannya.

Tak hanya itu, dalam kagiatan peliputan yang bersifat investigatif, seorang jurnalis pun diperbolehkan untuk tidak memperlihatkan identitasnya saat melakukan peliputan. Seperti halnya yang tertulis dalam butir kode etik jurnalistik fasal 9, “Wartawan menempuh cara yang profesional, sopan dan terhormat untuk memperoleh bahan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar) dan selalu menyatakan identitasnya kepada sumber berita, kecuali dalam peliputan yang bersifat investigatif”.

Memang ada sebuah pembangkangan dari kegiatan peliputan yang satu ini terhadap aturan suci seorang jurnalis. Bukan untuk sebuah ketidakmaslahatan semua itu dilakukan, akan tetapi demi terciptanya sebuah pemberitaan yang mendalam dan berdampak signifikan bagi masyarakat. Oleh karena itu, bisa kita simpulkan, jika liputan investigasi semata-mata ditujukan untuk kepentingan publik, yaitu membongkar keburukan agar berubah menjadi kebaikan. Dan kita tau, masyarakat informasi perlu akan hal itu.
 
Copyright © - HMJ KPI UIN Bandung | Powered by KPI UIN Bandung
Buku Tamu Top