Penyebaran Islam di pelosok-pelosok nusantara tentulah tidak lepas dari peran para pendakwahnya.  Perjuangan mereka menyebarkan Islam bukan hal yang mudah sedari dulu hingga sekarang. Melihat kenyataan itu, para pendakwah haruslah melakukan inovasi-inovasi yang teranyar agar umat Islam masa kini dapat terpenuhi kebutuhan rohaninya.
Televisi sebagai media yang populer bagi semua kalangan, tentulah menjadi salah satu media yang dilirik pendakwah negeri ini. Bermodalkan penampilan menarik, gestur bersahaja, bertutur sopan berhiaskan Hadits dan Quran, serta kemampuan berlaga di depan kamera, munculah dai-daiah di layar televisi kita.
Peran dai di televisi ini memang telah menyingkirkan paradigma sekuler dalam pertelevisian Indonesia. Melalui ceramah-ceramahnya pula, televisi di Indonesia sedikit terbebas dari kesan hedonis yang menjadi isu negatif media ini.
Tapi lucunya, tidak hanya sering muncul di acara kerohanian, dai-daiah ini juga muncul di acara infotainment. Hal-hal yang menyangkut kehidupan pribadi sang dai-daiah ini diekspos sebagaimana layaknya selebritas. Mulai dari kehidupan rumah tangga, kontrak bersama management dan hal-hal yang bersifat pribadi lainya. Hal ini tentu saja mengundang julukan baru bagi mereka, yakni Dai Selebritas.
Acara kerohanian memang tidak dapat memperlihatkan akhlak kesehariaan dai-daiah tersebut. Mungkin inilah mengapa prilaku keseharian dai-daiah tersebut ‘terpaksa’ diekspos di acara infotaiment. “Ibda binafsik” sebagai dakwah terbaik yang diberikan oleh Nabi adalah menjadikan Nabi sendiri panutan dan contoh bagi umat untuk beribadah. Mungkin pula, mereka yang mengekspos kehidupan pribadi para pendakwah selebritas ini, ingin menunjukan pada umat, agar umat mengikuti apa yang dilakukan para dai-daiah dalam kesehariannya.
Selesai melihat sisi positif dari tampilnya dai-daiah di acara infotainment, kita disuguhkan persoalan mengenai tarif para dai-daiah selebritas ini. Dalam Q.S. Huud ayat 29, Allah berfirman: “Dan (Dia berkata): “Hai kaumku, Aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku, upahku hanyalah dari Allah.” Berbalikan dengan ayat ini, para dai-daiah selebritas, sayangnya, malah mematok tarif hingga puluhan juta rupiah untuk sekali tampil.
Hal ini tentu saja menjadi hal yang pelik bagi umat. Karena tidak setiap mesjid atau umat memiliki dana sebanyak itu untuk mendapatkan dai-daiah berkualitas. Memang patokan dai-daiah berkualitas tidak tergantung pada tampil atau tidaknya sang pendakwah di televisi. Namun tetap saja kepopuleran dai yang berceramah akan mempengaruhi banyak tidaknya jamaah. Umat Islam tetaplah tidak dapat menafikan itu.
Melihat kenyataan ini, dilansir dari republika.co.id, Prof. Andi Faisal Bakti, PhD. menyarankan bahwa keikhlasan harus dimiliki para pendakwah. “Dai seharusnya bersikap ikhlas. Mengedepankan aspek keikhlasan merupakan suatu keniscayaan bagi seorang dai. Dai seharusnya masuk kategori kerja profesional, tetapi tanpa tarif.”
Prof. Andi tentu benar. Segala yang berkaitan dengan agama tak layak mematok tariff, bahwa keikhlasan adalah penting bagi mereka yang ada di jalanNya. Namun ternyata segalanya tak selesai dengan saran soal keikhlasan. Ada sisi lain yang justru menjadi alasan kuat, seorang dai yang terkenal, sering muncul di Tv, harus memasang tarif tinggi.
Alibi kuat pemasangan tarif ada pada citra dai sendiri. Mengapa demikian? Nah, coba bayangkan. Anggaplah ada seorang dai asal Bandung yang ceramahnya memang jempolan, diundang ke sebuah stasiun Tv di Jakarta untuk berdakwah secara live. Dari Bandung, ia mesti desak-desakan di angkutan umum. Sampai di Jakarta ia numpang karena hemat biaya inap di hotel. Syukur jika tampil disediakan kostum dari tim acara, jika tidak, dai tentu harus mencari dulu pakaian necis---mengingat dai biasanya tampil alakadar, sederhana. Beres ceramah, begitu pulang, dai kemudian dibayar dengan tarif seikhlasnya, yang jumlahnya tak lebih dari gaji pegawai biasa di jajaran tim kreatif. Ironis jika menilik perjuangan dan keilmuan yang susah payah dai terapkan. 

Jadi bagi saya, solusi yang baik itu bukan pengikhlasan begitu saja soal tarif. Melainkan keadilan dalam pembebanan sesuai pada mad’unya. Jika mad’u memang dari kalangan atas, bolehlah dai mendapat lebih, untuk kemudian hasilnya dimaksudkan pada yang mashlahat. Namun jika mad’u memang tak mampu, ikhlas tentu jalan terbaik yang bisa ditapaki para dai. []


*) Penulis adalah mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung angkatan 2011
 
Copyright © - HMJ KPI UIN Bandung | Powered by KPI UIN Bandung
Buku Tamu Top