Oleh : Rizky Sopiyandi

Dewasa ini, kita sering melihat bagaimana media memberitakan hal-hal yang berbajukan agama sebagai bahan untuk memanipulasi suatu isu yang beredar saat itu. Seperti halnya ketika media-media informasi yang memberitakan tentang isu pembubaran Jama’ah Ahmadiyyah namun para pakar komunikasi menganalisa bahwasanya itu hanya manipulasi isu sebagai penutup isu pertama yakni kenaikan harga BBM.

Meskipun Indonesia, dari tahun ketahun kita merasakan adanya peningkatan kehidupan beragama. Di tengah derasnya serbuan informasi baik lewat media cetak maupun elektronik, orang makin memerlukan agama sebagai pegangan hidup yang diharapkan dapat memberikan penjelasan atau panutan bagi masa depan dirinya, keluarganya, dan bahkan bangsanya. Di sisi lain, masyarakat beragama juga dihadapkan pada pilihan untuk meresponi modernitas dan modernisasi secara kritis dan kreatif dengan memanfaatkan referensi ajaran agama.

Secara sosiologis, agama berfungsi sebagai alat pengenalan diri bagi manusia dalam menemukan makna hidup dan lingkungannya. Agama adalah kebutuhan fitri yang selalu muncul di hati nurani serta batiniah manusia. Karena itu, usaha apa pun yang dilakukan untuk menegasikan agama dari kehidupan manusia, tidak akan pernah berhasil. Secara sosial agama mungkin bisa dikekang, tapi secara individu sulit mengesampingkan rasa keberagamaan yang melekat dalam diri manusia.

Di lain pihak, media massa atau pers, seperti dikatakan oleh sosiolog dan pakar komunikasi Marshall McLuhan, adalah the extension of man, ekstensi manusia. Menurut McLuhan, kodrat pembawaan dan kebutuhan essensial manusia adalah berkomunikasi. Melalui komunikasi, manusia menyatakan diri, berbicara, menerima dan menyampaikan pesan, berdialog, serta menyerap apa yang dilihat dan didengarnya.

Revolusi informasi telah menyebabkan meningkatnya jumlah maupun kualitas media massa dan pers di tengah-tengah kita. Setiap saat, di mana pun kita berada, kita dikepung dan dijejali berbagai informasi dengan segala kekurangan dan kelebihannya, serta kebaikan dan keburukannya. Ironisnya, peta bumi kekuatan informasi dunia itu sangatlah timpang.

Preferensi penyebaran informasi dan pemberitaan itu biasanya erat kaitannya dengan persoalan ''ideologis''. Barat menganut ideologi freeflow of ideas by words and image. Ideologi ini kemudian diterjemahkan: bebas memberitakan apa saja yang menarik diketahui umum, tanpa mempersoalkan konsepsi tradisional, budaya, maupun agama dari objek yang dijadikan bahan berita. Bahkan dalam pemberitaan yang berhubungan dengan Islam dan masyarakat Islam, seringkali disertai dengan imagi-imagi distortif.

Di tengah era informasi dan globalisasi sekarang ini, berita atau analisa yang menyangkut masalah agama nampaknya bukan saja menarik, tetapi juga layak ''dijual''. Berita, pemikiran, maupun analisa keagamaan seringkali menjadi santapan pembaca surat kabar dan majalah maupun penonton televisi. Meskipun tidak semua, beberapa media massa dan pers nasional memberi tempat bagi rubrik agama baik secara tetap, temporer, atau kasuistik.

Ini menunjukkan, produk berita yang bersifat sekuler tidak cukup memenuhi kebutuhan untuk memperoleh dan mengakses informasi. Apalagi bagi masyarakat religius seperti Indonesia, pemikiran atau analisa keagamaan menjadi penting bagi pemenuhan kebutuhan spiritual pembaca.

Tidak mengherankan jika dalam dua dasawarsa terakhir ini, penerbitan buku-buku agama atau yang bertema keagamaan meningkat dengan amat pesat. Ditengah banjirnya informasi yang sekuler, kemajuan iptek, peningkatan industrialisasi, dan akselerasi pembangunan, muncul apa yang disebut Soedjatmoko sebagai ''kerinduan umum terhadap makna hidup yang lebih tinggi.''


Kerinduan semacam ini muncul ketika orang semakin menyadari bahwa ideologi-ideologi modern dan sekuler yang pernah menjanjikan perbaikan nasib umat manusia belum berhasil memenuhi janjinya. Orang lantas melirik dan mencari jawaban dari agama terhadap persoalan kekinian dan masa depan.
 
Copyright © - HMJ KPI UIN Bandung | Powered by KPI UIN Bandung
Buku Tamu Top