Dalam buku karya Andreas Harsono, Agama Saya Adalah Jurnalisme bahwa jurnalisme Islam sebagai sebuah propaganda. Menurutnya, bila ada Jurnalisme Islam, tentu ada Jurnalisme Kristen, Jurnalisme Budha, Jurnalisme Hindu, Jurnalisme Konghucu dan Jurnalisme agama lainnya. Andreas menuliskan dalam esainya bahwa tidak ada hal yang baru dalam Jurnalisme Islam. Unsur-unsur Jurnalisme Islam tetap sama seperti Jurnalisme kebanyakan, jadi menurut Andreas, Jurnalisme Islam tidak pantas disebut sebagai cabang baru ilmu jurnalistik.
Tujuan Jurnalisme Dakwah dan jurnalisme pada umumnya adalah menyebarkan kebenaran. Kebenaran adalah hal yang relatif. Kebenaran bergantung pada aspek dimana dan kapan. Kebenaran yang berlaku di tanah sunda, tentu berbeda dengan kebenaran yang berlaku di tanah Batak atau tanah Minang. Artinya bahwa kebenaran dapat dipandang sebagai kesepakatan yang dihasilkan oleh sekelompok masyarakat, tetapi semua daerah memiliki satu kebenaran yang sama. Semua daerah pasti menganggap bahwa membunuh, mencuri dan korupsi adalah hal yang buruk.
Selain menyebarkan kebenaran, tujuan jurnalisme dakwah dan jurnalisme pada umumnya adalah membentuk masyarakat yang baik. Sebuah jargon yang mengatakan, semakin baik kualitas jurnalistik di suatu masyarakat, semakin baik pula kualitas masyarakatnya. Siapapun yang menggeluti dunia jurnalistik tentu akan sepakat dengan hal ini.
Maka tak ada jurnalisme Islam atau jurnalisme dakwah, karena kedua jurnalisme barusan tidak ada bedanya dengan jurnalisme dakwah. Cara berdakwah melalui dunia jurnalistik hanya hanya ada pada diri seorang jurnalis atau orang yang menggeluti dunia ini.
Profesi dunia jurnalistik salah satunya jurnalis. Jurnalis, profesi yang mengharuskan pengampunya bekerja tanpa mengenal ruang dan waktu. Ia tidak memiliki jam kerja, tidak mengenal lelah serta mengharuskan pengampu profesi ini tidak mengeluh. Selain itu, seorang jurnalis juga harus mengabarkan sesuatu secara benar. Jika pada awal kemunculannya seorang jurnalis mengabarkan suatu peristiwa apa adanya, sekarang seorang jurnalis mengabarkan suatu peristiwa berdasarkan sebuah sudut pandang. Itulah jurnalis.
Seorang jurnalis tidak beda halnya dengan seorang da’i. Ia bekerja menyajikan kabar dengan panduan kebenaran. Bill Kovach dan Tom Rossentiel dalam bukunya Sembilan Elemen Jurnalistik yang disadur oleh Andreas Harsono mengatakan bahwa seorang jurnalis musti mengabarkan suatu peristiwa berdasarkan kebenaran yang dianutnya. Kebenaran ini yang menuntunnya menjadi seorang da’i. Pendapat dua pakar jurnalistik Amerika ini tentu menegaskan bahwa jurnalis dengan da’i memiliki kesamaan, yaitu sama-sama menyebarkan kebenaran.
Tidak hanya pendapat kedua pakar itu. Suf Kasman dalam buku Jurnalisme Universal mengatakan bahwa tafsir ayat pertama surat Al-Qalam.adalah tinta dan tugas untuk menulis. Menuliskan apapun yang ditemui seperti peristiwa bencana alam, perdagangan, permasalahan Negara dan lain sebagainya. Di samping itu, Suf Kasman berpendapat sama seperti halnya Bill Kovach dan Tom Rossentiel, bahwa seorang jurnalis harus mengabarkan suatu peristiwa berdasarkan kebenaran universal yang berlaku di masyarakat.
Tidak cukup hanya mengabarkan dengan kebenaran saja, ada hal lain yang musti diperhatikan oleh seorang jurnalis, yaitu mendengarkan hati nurani. Seorang jurnalis harus mendengarkan hati nuraninya sendiri dalam pengabaran yang ia lakukan, karena hati nurani akan tahu hal baik dan buruk.
Peppih Nugraha, seorang jurnalis senior harian Kompas pernah bekerja di Poso sewaktu terjadi peristiwa kericuhan Poso medio awal abad ini. Di tengah tanah konflik seorang jurnalis akan dihadapkan dengan kericuhan, kerusuhan, darah dimana-mana, dan kesengsaraan. Di sana seorang jurnalis tetap harus melaksanakan tugasnya meskipun hal itu mengancam nyawanya, dan peran hati nurani akan muncul saat seorang jurnalis bekerja di tengah-tengah konflik yang terjadi. Dengan menggunakan hati nurani jurnalis mengabarkan bukan konflik secara kasat mata, akan tetapi jurnalis musti mengabarkan apa yang akan menimbulkan rasa empati dan simpati masyarakat terhadap peristiwa ini. Bekerja dengan hati nurani berarti bekerja atas dasar rasa kemanusiaan yang besar.
Sebagaimana yang dikatakan Andreas bahwa tidak ada jurnalisme Islam, tetapi ada jurnalis muslim. Jurnalis muslim, mereka yang bekerja di dunia jurnalistik dan beragama islam.  Jurnalis muslim seperti halnya da’i, mereka adalah tonggak perubahan. Jurnalis dan da’i sama-sama mengubah kebiasaan buruk menjadi baik, hitam menjadi putih, dan bias menjadi jelas. Masyarakat yang gemar membuang sampah sembarangan akan berubah karena jurnalis, bukan karena jurnalis adalah penegak hukum, tetapi karena jurnalis melakukan amar ma’ruf nahyi munkar melalui tulisan-tulisannya. 
Jurnalis muslim berdakwah melalui tulisan. Ia ibarat korek yang memantik api melalui tulisannya yang dimuat di surat kabar dan dibaca oleh khalayak yang heterogen. Cakupan dakwah seorang jurnalis yang heterogen dan tidak terbatas ruang dan waktu menjadikannya lebih berpegaruh ketimbang da’i yang berdakwah dari panggung ke panggung. Semakin berkualitas tulisan dan kabar yang disajikan seorang jurnalis, semakin besar pula pengaruhnya.
Jadi, laku dakwah seorang jurnalis dan da’i sebenarnya sama. Keduanya sama-sama bekerja atas dasar kebenaran, rasa kemanusiaan, dan mengubah sesuatu. Hal yang membedakan keduanya hanya nama dan media. Perpektif masyarakat kita biasa menyebut orang yang menyeru dari panggung ke panggung sebagai da’I, sedangkan jurnalis yang menyeru melalui tulisannya tetap disebut jurnalis. Kemudian media dakwah keduanya yang berbeda pun membuat masyarakat kita membedakan keduanya, tetapi hakikatnya baik jurnalis maupun da’I adalah sama. Hanya jalan yang membedakan laku dakwah keduanya.


*) Penulis adalah mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung angkatan 2011
 
Copyright © - HMJ KPI UIN Bandung | Powered by KPI UIN Bandung
Buku Tamu Top